Ahmad Hasan atau lebih dikenal dengan panggilan Hasan bandung (karena lama tinggal di Bandung), lahir pada 1887 di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad, seorang pengarang dan wartawan terkenal di Singapura. Ibunya bernama Hajjah Muznah berasal dari Palekat (Madras) kelahiran Surabaya.
Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Al-Qur’an maupun Hadits yang cenderung literalis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (PERSIS) pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) bisa dikatakan sama persis dengan Muhammadiyah. Oleh karena itu, ada pula sebagian jamaah Muhammadiyah mengutip pendapat dari Ahmad Hasan, karena dianggap jelas dan tidak bertele-tele.
Keahliannya dalam bidang Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan Mantiq, menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam dalam bebagai masalah. Koleksi bukunya sanagt banyak yang selalu dibaca, diteliti, bahkan mungkin dihapal olehnya.
Ahmad Hasan juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai prinsip berdiri tegak di atas kaki sendiri yang merupakan hasil pendidikan langsung dari orang tuanya. Artinya tidak pernah mengharapkan bantuan orang lain dan selalu berusaha dengan tangan sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal ini terlihat ketika Ahmad Hasan masih remaja, ia pernah menjadi buruh di toko kain, berdagang permata, minyak wangi, vulkanisir ban mobil, menjadi guru bahasa melayu, bahasa arab, guru agama, menulis opini dan karangan dalam majalah ataupun surat kabar, baik yang ada di Singapura dan Indonesia. Salah satu tulisannya yang dianggap kritis saat itu ialah kritikannya terhadap Tuan Kadli (Hakim Agama) yang memeriksa perkara dengan mengumpulkan tempat duduk pria dan wanita (ikhtilath). Saat itu merupakan tindakan yang dianggap luar biasa mengingat Kadli (Hakim Agama) memiliki kedudukan yang tinggi sehingga tidak ada yang mengkritiknya.
Pada tahun 1909, dalam usia yang masih relatif muda, Ahmad Hasan aktif menjadi asisten “Utusan Melayu”. Ia aktif memberi ceramah. Pidatonya tentang kemunduran umat Islam dianggap terlalu politis sehingga ia dilarang untuk berpidato di muka umum.
Pada tahun 1921, Ahmad Hasan pindah dari Singapura ke Surabaya. Di Surabaya ini awalnya ia berdagang tetapi mengalami kerugian dan kembali ke profesi awalnya sebagai tukang vulkanisir ban mobil. Sambil berwiraswasta, ia menjalin persahabatan dengan beberapa tokoh Syarikat Islam. Di antaranya, H.O.S. Cokroaminoto, A.M. Sangaji, H. Agus Salim dan lain-lain. Sambutan hangat ditujkukan kepada Ahmad Hasan karena kepiawaiannya dalam ilmu Agama dan jiwqa pejuang yang dimilikinya.
Ia juga pernah belajar tenun di Kediri, tetapi tidak memuaskannya, sehingga pada tahun 1925 ia pindah ke Bandung dan mendapat ijazah menenun di Kota Bandung. Di kota inilah ia berkenalan dengan saudagar-saudagar PERSIS, antara lain, Asyari, Tamim, Zamzam dan lain-lain. Dari perkenalan inilah Ahmad Hasan sering diundang untuk ceramah dan memebrikan pelajaran pada pengajian-pengajian jamaah PERSIS. Dengan metode dakwahnya dan kepribadiannya serta pengetahuannya yang luas, jamaah PERSIS tertarik dengan Ahmad Hasan sehingga ia dikukuhkan sebagai guru dan tokoh PERSIS. Hal inilah yang membuat ia membatalkan untuk kembali ke Surabaya.
Di Bandung selain aktif sebagai guru PERSIS, ia memberi kursus/private kepada pelajar-pelajar didikan Barat, bertabligh setiap minggu, menyusun berbagai karangan pada berbagai majalah.
Ahmad Hasan adalah ulama yang sangat produktif dalam menulis, adapun tulisannya adalah sebagai berikut: Tafsir Al-Furqan, Kitab Pengajaran Shalat (buku rujukan bagi jamaah PERSISdalam tata cara shalat), Tarjamah Bulughul Maram disertai catatan dari Ahmad Hasan, dan Kitab Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama.
Pemikiran Ahmad Hasan sering dianggap dengan suatu yang agresif, ekstrem, dan puritan, karena karakter pemahaman yang literalis. Hal ini sangat jelas dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah, khususnya ibadah mahdlah, ia sama sekali menolak hal yang berbau bid’ah. Secara garis besar pokok-pokok pikrannya adalah sebagai berikut:
* Ijtihad harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa ulama, terutama karena tidak diketahui rujukan nashnya atau bertentangan dengan nash. Kalaupun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap sesuai dengan nash yang dapat dipertanggungjawabkan.
* Menentang taqlid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan ittiba’, yaitu mengikuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya.
* Memegang lafaz (kata) yang lebih jelas (zhahir) dalam menyimpulkan hukum. Mirip dengan madzhab Dzahiry yang berpegang teguh pada zhahir nash dan menolak takwil.
* Kritik Hadits pada aspek redaksional (matan) dan periwayatan. Kritik yang dimaksud adalah hadits tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran sebagai rujukan utama, tidak boleh bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir atau hadits-hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya. Sedangkan kritik pada periwayatan lebih pada kritik metode penukilan hadits dan kritik rawi (Naqd al-Rijal).
* Menolak Ijma’. Menurut penelitaiannya tidak ada satu pun ayat yang memerintahkan menerima ijma’. Ia berpendapat hanya hukum Allah dan Rasul-Nya saja yang bisa dijadikan sumber hukum, sedangkan hukum buatan manusia, walaupun disepakati oleh semua orang tidak dapat dijadikan salah satu sumber hukum.
Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Al-Qur’an maupun Hadits yang cenderung literalis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (PERSIS) pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) bisa dikatakan sama persis dengan Muhammadiyah. Oleh karena itu, ada pula sebagian jamaah Muhammadiyah mengutip pendapat dari Ahmad Hasan, karena dianggap jelas dan tidak bertele-tele.
Keahliannya dalam bidang Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan Mantiq, menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam dalam bebagai masalah. Koleksi bukunya sanagt banyak yang selalu dibaca, diteliti, bahkan mungkin dihapal olehnya.
Ahmad Hasan juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai prinsip berdiri tegak di atas kaki sendiri yang merupakan hasil pendidikan langsung dari orang tuanya. Artinya tidak pernah mengharapkan bantuan orang lain dan selalu berusaha dengan tangan sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal ini terlihat ketika Ahmad Hasan masih remaja, ia pernah menjadi buruh di toko kain, berdagang permata, minyak wangi, vulkanisir ban mobil, menjadi guru bahasa melayu, bahasa arab, guru agama, menulis opini dan karangan dalam majalah ataupun surat kabar, baik yang ada di Singapura dan Indonesia. Salah satu tulisannya yang dianggap kritis saat itu ialah kritikannya terhadap Tuan Kadli (Hakim Agama) yang memeriksa perkara dengan mengumpulkan tempat duduk pria dan wanita (ikhtilath). Saat itu merupakan tindakan yang dianggap luar biasa mengingat Kadli (Hakim Agama) memiliki kedudukan yang tinggi sehingga tidak ada yang mengkritiknya.
Pada tahun 1909, dalam usia yang masih relatif muda, Ahmad Hasan aktif menjadi asisten “Utusan Melayu”. Ia aktif memberi ceramah. Pidatonya tentang kemunduran umat Islam dianggap terlalu politis sehingga ia dilarang untuk berpidato di muka umum.
Pada tahun 1921, Ahmad Hasan pindah dari Singapura ke Surabaya. Di Surabaya ini awalnya ia berdagang tetapi mengalami kerugian dan kembali ke profesi awalnya sebagai tukang vulkanisir ban mobil. Sambil berwiraswasta, ia menjalin persahabatan dengan beberapa tokoh Syarikat Islam. Di antaranya, H.O.S. Cokroaminoto, A.M. Sangaji, H. Agus Salim dan lain-lain. Sambutan hangat ditujkukan kepada Ahmad Hasan karena kepiawaiannya dalam ilmu Agama dan jiwqa pejuang yang dimilikinya.
Ia juga pernah belajar tenun di Kediri, tetapi tidak memuaskannya, sehingga pada tahun 1925 ia pindah ke Bandung dan mendapat ijazah menenun di Kota Bandung. Di kota inilah ia berkenalan dengan saudagar-saudagar PERSIS, antara lain, Asyari, Tamim, Zamzam dan lain-lain. Dari perkenalan inilah Ahmad Hasan sering diundang untuk ceramah dan memebrikan pelajaran pada pengajian-pengajian jamaah PERSIS. Dengan metode dakwahnya dan kepribadiannya serta pengetahuannya yang luas, jamaah PERSIS tertarik dengan Ahmad Hasan sehingga ia dikukuhkan sebagai guru dan tokoh PERSIS. Hal inilah yang membuat ia membatalkan untuk kembali ke Surabaya.
Di Bandung selain aktif sebagai guru PERSIS, ia memberi kursus/private kepada pelajar-pelajar didikan Barat, bertabligh setiap minggu, menyusun berbagai karangan pada berbagai majalah.
Ahmad Hasan adalah ulama yang sangat produktif dalam menulis, adapun tulisannya adalah sebagai berikut: Tafsir Al-Furqan, Kitab Pengajaran Shalat (buku rujukan bagi jamaah PERSISdalam tata cara shalat), Tarjamah Bulughul Maram disertai catatan dari Ahmad Hasan, dan Kitab Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama.
Pemikiran Ahmad Hasan sering dianggap dengan suatu yang agresif, ekstrem, dan puritan, karena karakter pemahaman yang literalis. Hal ini sangat jelas dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah, khususnya ibadah mahdlah, ia sama sekali menolak hal yang berbau bid’ah. Secara garis besar pokok-pokok pikrannya adalah sebagai berikut:
* Ijtihad harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa ulama, terutama karena tidak diketahui rujukan nashnya atau bertentangan dengan nash. Kalaupun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap sesuai dengan nash yang dapat dipertanggungjawabkan.
* Menentang taqlid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan ittiba’, yaitu mengikuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya.
* Memegang lafaz (kata) yang lebih jelas (zhahir) dalam menyimpulkan hukum. Mirip dengan madzhab Dzahiry yang berpegang teguh pada zhahir nash dan menolak takwil.
* Kritik Hadits pada aspek redaksional (matan) dan periwayatan. Kritik yang dimaksud adalah hadits tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran sebagai rujukan utama, tidak boleh bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir atau hadits-hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya. Sedangkan kritik pada periwayatan lebih pada kritik metode penukilan hadits dan kritik rawi (Naqd al-Rijal).
* Menolak Ijma’. Menurut penelitaiannya tidak ada satu pun ayat yang memerintahkan menerima ijma’. Ia berpendapat hanya hukum Allah dan Rasul-Nya saja yang bisa dijadikan sumber hukum, sedangkan hukum buatan manusia, walaupun disepakati oleh semua orang tidak dapat dijadikan salah satu sumber hukum.
Tujuh Belas tahun lamanya ia tinggal di Bandung, menegakkan pemahamannya dan berjuang dengan segala kesungguhan hati hingga kepindahannya ke Bangil pada tahun 1941 bersama percetakannya untuk bekal hidup sebagaimana ia lakukan di Bandung untuk terus menulis buku mencetak dan menerbitkannya sendiri.
Di Bangil, ia mendirikan pesantren PERSIS di samping pesantren putri yang sampai kini dihuni oleh para santri dari berbagai tanah air. Pesantren tersebut dipimpin oleh putra sulungnya Abdul Qadir Hassan. Solidaritas sosial yang sangat tinggi dari sosok ulama ahli debat dan teguh pendirian ini menjadi kharisma tersendiri bagi orang-orang yang mengenalnya. Dia sangat memuliakan tamu dan pintunya selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang mengunjunginya dengan sambutan yang hangat dan akrab dari tuan rumah.
Akhirnya ulama yang hati-hati dalam agama, kritikus ulung dan memiliki semboyan hidup “Tidak ada penghidupan yang lebih baik dari hidup mengikuti tuntunan agama dan berbuat baik kepada siapapun sekadar bisa dan penuh keikhlasan.” (Tamar Jaya, 1957). Ia berpulang ke rahmatullah pada tanggal 10 November 1958. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadanya. (zar, pkesinteraktif.com)
Disarikan dari Ensklopedi Tokoh Muhammadiyah
Di Bangil, ia mendirikan pesantren PERSIS di samping pesantren putri yang sampai kini dihuni oleh para santri dari berbagai tanah air. Pesantren tersebut dipimpin oleh putra sulungnya Abdul Qadir Hassan. Solidaritas sosial yang sangat tinggi dari sosok ulama ahli debat dan teguh pendirian ini menjadi kharisma tersendiri bagi orang-orang yang mengenalnya. Dia sangat memuliakan tamu dan pintunya selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang mengunjunginya dengan sambutan yang hangat dan akrab dari tuan rumah.
Akhirnya ulama yang hati-hati dalam agama, kritikus ulung dan memiliki semboyan hidup “Tidak ada penghidupan yang lebih baik dari hidup mengikuti tuntunan agama dan berbuat baik kepada siapapun sekadar bisa dan penuh keikhlasan.” (Tamar Jaya, 1957). Ia berpulang ke rahmatullah pada tanggal 10 November 1958. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadanya. (zar, pkesinteraktif.com)
Sekilas Karya A.
Hasan
Berdasarkan
catatan, Ahmad Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan,
terutama fikih (usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Beberapa karyanya
yang cukup populer adalah :- Soal-Jawab,
- Tafsir al-Furqan,
- Pengajaran Shalat dan
- At-Tauhid,
- Islam dan Kebangsaan,
- Madzhab dan Taklid,
- Risalah ahmadiah,
- Bibel Lawan Bibel,
- Wanita di podium,
- Dan lain-lain.
Disarikan dari Ensklopedi Tokoh Muhammadiyah